Setiap
minggunya, ribuan umat Muslim berbondong-bondong ke Panjalu, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Mareka datang untuk berwisata ziarah ke Situ
Lengkong yang airnya dipercaya berasal dari mata air zamzam di Mekkah,
Arab Saudi. Asal-usul air ini, rupanya bukan hanya mitos, sebab ada
beberapa bukti arkeologis yang mendukung mitos tersebut.
SITU LENGKONG - Danau Situ Lengkong dipercaya airnya berasal dari mata air Zamzam di Arab Saudi yang dibawa oleh Sanghyang Borosngora pada abad ketujuh. Peziarah yang datang ke Situ Lengkong, membawa air dari danau ini sebagai buah tangan.
Selain berwudhu di air danaunya, umat muslim juga
berziarah ke makam Prabu Hariang Kancana yang dimakamkan di Nusa Gede,
sebuah pulau kecil di tengah Danau Situ Lengkong serta mengunjungi bumi
alit, sebuah situs museum tempat pusaka Panjalu berada.
RH Atong Tjakradinata, seorang keturunan Raja Panjalu
yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai kuwu (kepala desa) selama
40 tahun mengungkapkan mitos dan bukti arkeologis yang mendukung mitos
tersebut ketika Pembaruan berkunjung ke kediamannya di Desa Panjalu,
Ciamis. Ia mengungkapkan, Kerajaan Panjalu adalah kerajaan yang besar
dan pemerintahannya mencapai tatar Banyuwangi, Jawa Timur. Berdasarkan
penelitian, Kerajaan Panjalu berdiri jauh sebelum Kerajaan Padjadjaran.
Pada zamannya, Kerajaan Panjalu pernah diperintah oleh seorang perempuan
bernama Sanghyang Ratu Permana Dewi yang sangat bijaksana.
Ia memiliki seorang anak yang dikenal sebagai Prabu
Siliwangi. Prabu Siliwangi memiliki enam orang cucu, satu di antaranya
bernama Prabu Sanghyang Borosngora atau biasa disebut Sanghyang Jampang
Manggung. Keenam cucu Prabu Siliwangi memiliki ajaran yang penuh nilai
keluhuran, yaitu berani karena benar, takut karena salah, melaksanakan
keadilan sosial, menyembah yang Esa, bekerja dan berkeputusan
berdasarkan musyawarah mufakat, pengorbanan, mendahulukan kepentingan
umum dari kepentingan pribadi, dan sebagainya.
Di antara keenam bersaudara Prabu Sanghyang
Borosngora dikaruniai kegagahan dan dan memiliki kesaktian yang luar
biasa. Ia tidak mempan senjata, tidak panas terkena api dan bepergian
pun tidak perlu menapak di tanah atau di air.
Mencari Ilmu
Dalam suatu waktu, Prabu Borosngora yang bertugas
menjaga keamanan negara, dipanggil oleh ayahnya Sanghyang Prabu Cakra
Dewa. Borosngora diutus untuk mencari ilmu yang lebih hebat dan lebih
tinggi dari yang sudah dimilikinya. Ketika mengutus Borosngora, sang
ayah menitipkan semacam gayung yang bolong di bagian dasarnya. "Jangan
dulu pulang jika kamu belum bisa membawa air secanting penuh tanpa
menumpahkan isinya," titah sang ayahanda Borosngora.
Meski sedih karena tugas ini terlalu berat dan nyaris
mustahil, Borosngora menyanggupi permintaan ayahandanya. Ia kemudian
menjelajah nusantara untuk mencari guru yang lebih luhur ilmunya dari
dia, yaitu bila sudah bisa memberikan ilmu membawa air di dalam wadah
yang bolong tanpa menumpahkan airnya.
"Untuk melihat tingkat kesaktian calon guru-gurunya,
Borosngora sengaja mengajak mereka berduel satu lawan satu dan hasilnya
Borosngora selalu menang. Akhirnya Borosngora mengembara ke Asia Barat
melalui negara-negara India, Pakistan dan sebagainya hingga ia tiba di
Padang Arafah Arab Saudi," ujar Atong.
Menurut Atong, rute perjalanan Borosngora ini pernah
diteliti oleh para ahli sejarah dan berdasarkan penelitian tersebut, ia
memang pergi ke Padang Arafah di Arab Saudi. "Di sana, Borosngora
bertemu Ali bin Abu Thalib yang merupakan khalifah Nabi Muhammad SAW
yang juga berstatus menantu sekaligus keponakan Nabi. Borosngora
kemudian dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim," katanya.
Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara
tahun 600-700 Masehi, sama dengan Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan
mereka memang menurut Atong, nyata terjadi. Setelah sekian lama berguru
pada Ali, Borosngora diminta pulang ke negerinya, sebab Ali merasa ayah
dan ibu Borosngora sudah merindukan anaknya. Borosngora sendiri
menyatakan sudah ingin pulang, namun tidak berani bila belum bisa
membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya tersebut.
Dengan enteng Ali meminta agar Borosngora mengambil
air zamzam sambil melafalkan doa. "Atas izin Tuhan, air tersebut tidak
tumpah dan Borosngora bisa membawa air zamzam itu hingga tiba di
Panjalu," katanya. Ia juga memberikan cenderamata berupa pedang dan
jubah bagi Borosngora dengan amanat agar Borosngora menyiarkan agama
Islam di Panjalu.
Setiba di Panjalu, ayah Borosngora sudah tidak lagi
menjadi raja tapi sudah menjadi begawan, sementara kedudukan raja
diberikan kepada kakak Borosngora, yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur
II. Ayah Borosngora yang memang menunggu-nunggu kehadiran anaknya ketika
melihat anaknya sudah pulang dengan membawa air di dalam canting yang
bolong tanpa menumpahkan airnya sedikit pun, kemudian mengatakan pada
Borosngora untuk membuat danau di daerah Legok Jambu.
"Borosngora kemudian membendung kawasan Legok Jambu
dengan batu yang sampai sekarang masih bisa dilihat susunannya yang
berupa batu-batu hitam seperti batu yang terdapat di Candi Borobudur,
air zamzam itu ditumpahkannya di Legok Jambu dan sekarang jadilah Situ
(Danau) Lengkong," katanya.
Kemudian Borosngora membuat bendungan dan memindahkan
kerajaan di tengah pulau yang berada dalam danau tersebut. Setelah bisa
membendung danau dan membuat kerajaan di dalam pulau, Borosngora
kemudian diangkat jadi raja Panjalu. Kakak Borosngora, kemudian pindah
ke Gunung Tampomas Sumedang dan memerintah di sana, dan sama dengan
ayahnya yang bijaksana, raja Tampomas ini juga bergelar Siliwangi.
Masuknya Islam
Sementara itu, Borosngora yang sudah memeluk Agama
Islam kemudian memerintah kerajaannya dengan ajaran kearifan Islam masuk
dalam Kerajaan Panjalu. "Karena titah raja adalah undang-undang, maka
ketika Borosngora menganut Islam, rakyatnya pun menganut agama Islam,"
katanya. Itulah sebabnya menurut Atong, kenapa orang Panjalu sangat
bangga pada rasa kesundaan dan keislamannya.
"Kami sangat bangga pada rasa kesundaan dan keislaman
kami karena raja kami dulu berguru langsung dari khalifah nabi dan
membawa ke sini, jauh sebelum para pedagang dari Parsi mendarat di
Indonesia dan para walisongo mengajarkan Islam dengan cara yang
radikal," katanya.
Hingga kini, pakaian Borosngora yang merupakan hadiah
Ali bin Abu Thalib masih tersimpan di Bumi Alit, begitu juga dengan
pedang berukuran panjang berbentuk lengkung dan berlafal Arab.
"Saya masih ingat tulisan dalam pedang itu berbahasa
Arab, artinya pedang milik Ali," kata Atong. Namun menurut Atong, saat
ini tulisan di atas pedang sudah hilang karena tiap tahun pedang
tersebut diasah, dicuci, dan dibersihkan.
Hingga kini, makam Prabu Borosngora sendiri tidak
ditemukan, yang ada hanya makam putra pertamanya, yaitu Prabu Hariang
Kancana. "Kalau seseorang bergelar Sanghyang, ia memang tidak
meninggalkan jasad saat meninggal, kalau gelarnya Hariang, maka ia
meninggalkan jasad," ujar Atong memberi penjelasan.
Selama hidupnya, Borosngora ternyata tidak hanya
memerintah Panjalu. Ia diketahui menjelajah beberapa tempat di Nusantara
dan mendirikan kerajaan Islam dengan nama yang berbeda-beda. "Dari
Panjalu, ia pindah ke Sukabumi dan mendirikan Kerajaan Jampang. Ia
mengganti namanya menjadi Sanghyang Jampang Manggung. Kemudian pindah ke
Gebang Pandeglang, Banten, dan mengubah namanya menjadi Prabu Sanghyang
Gebang. Setelah Gebang besar, ia pindah ke Sumatera mendirikan kerajaan
di sana dan kemudian menjelajah hingga ke Siak, kemudian ke
Kalimantan," katanya.
Tak lama di Kalimantan, ia kembali ke Jawa, yaitu ke
Cilamaya dan mengganti namanya menjadi Syekh Syaifuloh, terakhir ia
tinggal di Gunung Sembung dan mengganti namanya menjadi Syekh Abdul
Iman. "Selama masa pengembaraannya, Borosngora selalu mendirikan
kerajaan yang bernapaskan Islam sehingga bisa dikatakan tunas kerajaan
Islam di nusantara tidak lain berkembang karena jasanya," tutur Atong.
Desa Wisata
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat, Memet
Hamdan, mengakui sejarah mengenai Panjalu sangat menarik sehingga minat
wisatawan untuk melakukan wisata ziarah ke daerah tersebut sangat
tinggi. "Itulah sebabnya saat ini saya canangkan daerah ini sebagai desa
wisata sehingga masyarakat umum yang tertarik datang ke Panjalu bisa
langsung menginap di rumah penduduk. Ini baik untuk menjalin rasa
kekeluargaan, dan meletarikan adat budaya Panjalu di mana sektor
pariwisata berjalan seiring dengan kebiasaan desa tersebut, sekaligus
menambah pendapatan warga desa," katanya.
Panjalu memang memiliki daya tarik sendiri di bidang
rohani dan kesejarahan, dan danaunya yang indah, Pulau Nusa Gede-nya
telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam dan dihuni oleh 10.000 ekor
kelelawar, ratusan ekor ular dan berbagai spesies burung serta ikan juga
menarik untuk dikunjungi.
Dalam hal event wisata, para pemilik domba adu di
Panjalu seringkali menggelar acara adu domba sebagai bagian dari
kesenian dan hiburan masyarakat setempat. Kegiatan ini sangat menarik
karena domba yang kekar, tampan dan berbulu lebat dipamerkan dan
kemudian dipertontonkan kekuatannya di arena adu. Tontonan ini cukup
aman karena ada wasit dan penjaga.
Selamat berwisata ke Panjalu.
1 komentar:
Muhyi Fadlil, PKBM Nuju Pinter Cilongok Purwokerto
SAYA BARU BERKUNJUNG KE PANJALU, kalau tidak salah untuk keempat kalinya. Sekali bersama keluarga SMK Ma'arif dan 3 kali bersama keluarga SMP Ma'arif NU 1 Cilongok. Saya dapatkan Buku "SEJARAH PANJALU" tulisan R. Haris R. Cakradinata, SE.
Isinya masih dangkal, dan saya katakan kepada teman-teman, masih diperlukan banyak data dukung. Nah tulisan ini menjadi salah satunya. Kata teman saya, di kalangan generasi muda NU juga pernah didiskusikan. Semoga terus ada pencerahan dan banyak ahli sejarah muslim yang tertarik mengkajinya. Sebuah kekayaan sangat berharga untuk Islam Nusantara.
Posting Komentar