Kesabaran
hati kaum Nahdliyin kembali digoda. Buku terbaru H Mahrus Ali kembali
terbit. Isinya masih seperti yang dulu, bisa “menggemaskan” hati.
Bedanya, topik yang diangkat kali ini berbeda. Bagaimana kita harus
menyikapi?
MASIH ingat nama H Mahrus Ali? Yah, setelah cukup lama tenggelam dari pemberitaan media, nama itu kembali menjadi polemik. Hanya saja kalau sebelumnya polemik berlangsung di tengah masyarakat, polemik kali ini lebih banyak berlangsung di dunia maya, melalui saluran facebook.
Polemik dipicu oleh munculnya buku terbaru H Mahrus Ali dengan penerbit yang sama, Laa Tasyuk! Press. Sebagaimana biasa, judul buku itu cukup mudah memancing emosi. Di sampul depan nama penulis cukup jelas H Mahrus Ali (Mantan Kyai NU), dengan judul buku Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (kesyirikan ngalap berkah kubur, ruwahan, megengan dan kesesatan dzikir berjama’ah disela-sela shalat tarawih).
Sebenarnya Aula kurang tertarik lagi menulis laporan tentang alumni Pondok Pesantren Langitan yang tidak diakui almamaternya tersebut. Pengalaman sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran, betapa ia tidak bisa diajak beradu argumentasi secara sehat dan wajar. Saat ada “tantangan” dialog, ia malah mengajukan syarat yang terbilang tidak masuk di akal orang waras. Pertama, ia minta agar dialog diadakan di rumah H Mahrus, dengan catatan dilakukan orang per orang, tidak boleh secara rombongan. Kalau orangnya banyak harus dilakukan secara bergiliran.
Kedua, jika dialog dilakukan di tempat lain, ia minta dua jaminan: pertama, jaminan uang sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar), dan kedua, jaminan keamanan. Jaminan keamanan itupun terbilang cukup unik. Ia minta dijemput ke rumah dengan pengawalan 1 truk polisi bersenjata lengkap dan 1 jip polisi militer. Mereka harus menjemput ke rumah, menunggui selama dialog dan mengantar kembali ke rumah. Banyak orang tertawa saat mendengar permintaan yang terbilang cukup janggal tersebut.
Tidak heran kalau tiga kali undangan debat terbuka tidak pernah ia hadiri. Pertama di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua di Malang, dan ketiga di Masjid Kauman Desa Gedongan, yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Selain karena faktor syarat awal, alasan yang dimunculkan makin berfariasi, mulai dari undangan yang terlalu mepet sampai minta waktu setidaknya 3 bulan untuk muthala’ah. Orang pun tersenyum kala mendengar adanya syarat tambahan tersebut.
Selain faktor mbulet itu, masih ada lagi penyebab Aula enggan menulis seputar H Mahrus Ali. Pengalaman yang lalu (edisi Nopember 2006, Maret 2008, April 2008, Juni 2008 dan Agustus 2008), ternyata tulisan yang panjang lebar itu malah menguntungkan penerbit dan melambungkan nama H Mahrus Ali. Padahal di kampungnya, Tambaksumur, Waru, Sidoarjo, ia bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh kampung, apalagi Kiai NU. Sekitar 30 orang pengikutnya, mayoritas warga pendatang yang tidak berlatar belakang pesantren.
Lebih dari itu, ternyata H Mahrus hanyalah “korban” kenekatan penerbit. Judul buku yang bombastis itu (Mantan Kiai NU) adalah rekaan penerbit yang ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari tulisan ayah dari 14 anak tersebut. Benar juga. Berkat pemberitaan dan polemik yang luar biasa, buku itu malah makin laris bak kacang goreng. Bahkan di beberapa toko buku di luar kota pembeli malah harus berani indent jika ingin kebagian jatah. Repotnya, H Mahrus Ali malah tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya buku, mengingat ia menjual naskah, tidak menggunakan sistem royalti. Orang terus marah pada H Mahrus, sementara penerbit dengan enaknya menghitung untung yang terus melambung.
Ketika H Mahrus mengadukan keberatan pada penerbit atas penggunaan judul “Mantan Kiai NU” yang dilabelkan pada dirinya, sehingga banyak kiai NU beneran marah kepadanya, penerbit hanya menjawab dengan enteng: “Supaya bukunya laku. Kalau sampai tidak laku, apa Sampean mau tanggung jawab?” elak mereka. H Mahrus pun langsung ciut nyali mendengar gertakan seperti itu.
Dari banyak pengalaman itu, ditambah saran dari beberapa kiai, dalam waktu cukup lama Aula tidak lagi memperhatikan sepak terjang H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press. Namun setelah mendapatkan banyak pengaduan dari masyarakat di beberapa daerah yang tidak mengetahui kronologi persoalan buku H Mahrus Ali, ditambah dengan maraknya dialog di internet pada akhir Oktober lalu, membuat Aula ingin memberikan tambahan informasi. Apalagi ada rombongan dari Tebuireng yang mengunjungi rumah lelaki asal Desa Telogorejo, Sidomukti, Kebomas, Gresik itu.
Khawatir Mengganggu Kerukunan
Adalah KH Thobary Syadzily yang memulai. Salah seorang anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang, Banten itu menulis di akun facebook-nya tentang terbitnya buku H Mahrus yang harus diwaspadai. Judulnya juga cukup menyentak: H Mahrus Ali Pembohong dan Pemecah Belah Ummat.
Telah terbit kembali buku karangan Wahhabi, H Mahrus Ali. Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku-buku lainnya karangan H Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku-buku itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum-oknum yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Begitu sebagian dari bunyi tulisan Kiai Thobary.
Gayung langsung bersambut. Ternyata tulisan itu mendapatkan tanggapan luar biasa dari para penggemar chating. Hanya berselang 2 hari, tidak kurang dari 98 tanggapan masuk. Kebanyakan menghujat penerbit ataupun penulis, mulai dari sekadar mencela sampai yang mohon izin membunuh. “H Mahrus Ali ini bisa memecah belah umat Islam. Saya khawatir mereka bertengkar diakibatkan beredarnya buku-buku yang suka membid’ahkan orang lain itu. Ini harus dihentikan!” Kiai Thobary memberikan alasan sikapnya.
Tidak puas hanya lewat dunia maya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Periuk Jaya Tangerang, Banten itupun “ngeluruk” ke rumah H Mahrus pada 22 November 2010. Bersama Gus Cecep dari Tebuireng, Habib Fikri, kenalan di dekat rumah H Mahrus Ali dan seorang sopir ia mendatangi rumah H Mahrus, dengan terlebih dahulu bertamu pada keponakannya, H Mahmud Ubaid. Gus Cecep adalah cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semasa hidup Gus Dur ia paling sering diajak mendampingi sepupunya itu saat ke makam para shalihin. Tidak heran kalau ia mendapatkan panggilan Sarkub, alias sarjana kuburan. Dunia gaib seakan menjadi kehidupan sehari-hari alumnus Pondok Modern Gontor tersebut. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya mereka bisa bertemu dengan tuan rumah H Mahrus Ali.
H Mahrus Siap Dialog
Duduk di lantai beralas tikar, mereka berdialog, dimulai dengan hal-hal yang ringan. Ketika disinggung mengenai syariat yang berbeda, H Mahrus lebih banyak menghindar. Namun ketika menyangkut buku karyanya ia dengan senang hati melayani. Bahkan dengan penuh percaya diri ia meminta untuk dikoreksi. “Mana yang salah, saya siap mengoreksi, ini demi kebaikan bersama,” kata H Mahrus, seperti yang ditirukan Gus Cecep.
Pembicaraan mulai serius saat menyentuh judul buku-bukunya yang dapat dengan mudah memancing emosi warga NU. “(judul) Itu bukan kemauan saya, saya hanya buat naskahnya,” elak H Mahrus. Mengapa tidak mengajukan keberatan? “Sudah. Tapi saya tidak kuasa untuk itu,” balas H Mahrus tak mau kalah. Akhirnya ia diminta menuliskan pernyataan bahwa judul buku memang bukan atas kemauan dirinya, melainkan kehendak penerbit. Inilah yang mungkin akan dipersoalkan lebih serius oleh rombongan dari Tebuireng tersebut.
Pembicaraan selanjutnya adalah soal hisab-rukyat. Sebab dalam buku karyanya, H Mahrus menyebutkan bahwa penentuan awal bulan menggunakan ilmu hisab adalah bid’ah, karena tidak ada ajaran dari Rasulullah, tidak ada Hadisnya. Dan pada kenyataannya –menurut H Mahrus dalam bukunya itu – ilmu hisab tersebut tidak menyelesaikan persoalan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. “Coba kalau dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan rukyat, maka persoalan akan selesai,” begitu analogi H Mahrus. Enteng.
Ditanya tentang cara melakukan rukyat, mengingat posisi hilal belum diketahui (sementara munculnya kadang hanya dalam hitungan menit atau detik) H Mahrus tampak kurang memahami persoalan itu. “Kalau soal penentuan hari raya, saya percaya NU,” jawabnya singkat tanpa perasaan bersalah. Para tamunya tampak kaget, mengingat NU menggunakan rukyat, namun dipandu dengan hisab sebelumnya.
Lalu, data-data tulisan tentang ilmu hisab yang ada di buku itu dapat dari mana? “Saya ambil dari internet,” tuturnya lirih sambil tersipu-sipu. Kiai Thobary hanya tersenyum melihat keterbatasan penulis yang dalam bukunya dilabeli “Syeikh” itu. Sampai saat itu H Mahrus belum mengetahui kalau orang yang duduk di hadapannya adalah Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Banten dan salah seorang anggota tim Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI.
Menjelang akhir pertemuan, H Mahrus kembali menegaskan kesiapannya melakukan dialog terbuka. Hanya saja tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Kali ini bukan persoalan uang, tapi hanya masalah tempat. Ia minta tempat yang aman, bukan di tempat komunitas orang NU. Dan tempat aman yang dimaksud adalah gedung kepolisian! Para tamu itupun hanya tersenyum menanggapinya.
Di sisi lain, saat dialog berlangsung itu Gus Cecep melihat ada makhluk lain yang selalu mendampingi H Mahrus. Tidak ikut bicara, namun cukup untuk memberikan spirit pada penganjur aliran shalat langsung di atas tanah dan memakai sandal tersebut. “Dia itu gurunya saat di Makkah dulu,” tutur Gus Cecep, yang biasa diajak Gus Dur keliling ke makam-makam keramat.
Sepulang dari rumah H Mahrus, mereka sempat memotret warkop yang biasa ditempati H Mahrus bercengkrama. Mereka pun tampak puas dengan kunjungan itu dan memiliki kesimpulan yang sama, bahwa nama H Mahrus Ali tidaklah sehebat yang digembar-gemborkan. Namun soal sikap akhir, keduanya belum satu kata. Kiai Thobary ingin agar PWNU Jawa Timur bersikap lebih tegas lagi pada H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press, mengingat buku-buku yang diterbitkan sangat membahayakan kerukunan umat Islam dan mengandung unsur adu domba.
Sedangkan Gus Cecep bersikap sebaliknya. Ia ingin orang itu dibiarkan saja, toh masyarakat sudah pada tahu siapa sebenarnya dia. “Kalau diurusi serius, dia malah terkenal,” ujarnya memberikan alasan. Bagaimana dengan kita? (M. Subhan)
*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Januari 2011 dalam rubric “Liputan Khusus”.
Judul: Polemik Mahrus Ali Belum SelesaiMASIH ingat nama H Mahrus Ali? Yah, setelah cukup lama tenggelam dari pemberitaan media, nama itu kembali menjadi polemik. Hanya saja kalau sebelumnya polemik berlangsung di tengah masyarakat, polemik kali ini lebih banyak berlangsung di dunia maya, melalui saluran facebook.
Polemik dipicu oleh munculnya buku terbaru H Mahrus Ali dengan penerbit yang sama, Laa Tasyuk! Press. Sebagaimana biasa, judul buku itu cukup mudah memancing emosi. Di sampul depan nama penulis cukup jelas H Mahrus Ali (Mantan Kyai NU), dengan judul buku Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (kesyirikan ngalap berkah kubur, ruwahan, megengan dan kesesatan dzikir berjama’ah disela-sela shalat tarawih).
Sebenarnya Aula kurang tertarik lagi menulis laporan tentang alumni Pondok Pesantren Langitan yang tidak diakui almamaternya tersebut. Pengalaman sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran, betapa ia tidak bisa diajak beradu argumentasi secara sehat dan wajar. Saat ada “tantangan” dialog, ia malah mengajukan syarat yang terbilang tidak masuk di akal orang waras. Pertama, ia minta agar dialog diadakan di rumah H Mahrus, dengan catatan dilakukan orang per orang, tidak boleh secara rombongan. Kalau orangnya banyak harus dilakukan secara bergiliran.
Kedua, jika dialog dilakukan di tempat lain, ia minta dua jaminan: pertama, jaminan uang sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar), dan kedua, jaminan keamanan. Jaminan keamanan itupun terbilang cukup unik. Ia minta dijemput ke rumah dengan pengawalan 1 truk polisi bersenjata lengkap dan 1 jip polisi militer. Mereka harus menjemput ke rumah, menunggui selama dialog dan mengantar kembali ke rumah. Banyak orang tertawa saat mendengar permintaan yang terbilang cukup janggal tersebut.
Tidak heran kalau tiga kali undangan debat terbuka tidak pernah ia hadiri. Pertama di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua di Malang, dan ketiga di Masjid Kauman Desa Gedongan, yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Selain karena faktor syarat awal, alasan yang dimunculkan makin berfariasi, mulai dari undangan yang terlalu mepet sampai minta waktu setidaknya 3 bulan untuk muthala’ah. Orang pun tersenyum kala mendengar adanya syarat tambahan tersebut.
Selain faktor mbulet itu, masih ada lagi penyebab Aula enggan menulis seputar H Mahrus Ali. Pengalaman yang lalu (edisi Nopember 2006, Maret 2008, April 2008, Juni 2008 dan Agustus 2008), ternyata tulisan yang panjang lebar itu malah menguntungkan penerbit dan melambungkan nama H Mahrus Ali. Padahal di kampungnya, Tambaksumur, Waru, Sidoarjo, ia bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh kampung, apalagi Kiai NU. Sekitar 30 orang pengikutnya, mayoritas warga pendatang yang tidak berlatar belakang pesantren.
Lebih dari itu, ternyata H Mahrus hanyalah “korban” kenekatan penerbit. Judul buku yang bombastis itu (Mantan Kiai NU) adalah rekaan penerbit yang ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari tulisan ayah dari 14 anak tersebut. Benar juga. Berkat pemberitaan dan polemik yang luar biasa, buku itu malah makin laris bak kacang goreng. Bahkan di beberapa toko buku di luar kota pembeli malah harus berani indent jika ingin kebagian jatah. Repotnya, H Mahrus Ali malah tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya buku, mengingat ia menjual naskah, tidak menggunakan sistem royalti. Orang terus marah pada H Mahrus, sementara penerbit dengan enaknya menghitung untung yang terus melambung.
Ketika H Mahrus mengadukan keberatan pada penerbit atas penggunaan judul “Mantan Kiai NU” yang dilabelkan pada dirinya, sehingga banyak kiai NU beneran marah kepadanya, penerbit hanya menjawab dengan enteng: “Supaya bukunya laku. Kalau sampai tidak laku, apa Sampean mau tanggung jawab?” elak mereka. H Mahrus pun langsung ciut nyali mendengar gertakan seperti itu.
Dari banyak pengalaman itu, ditambah saran dari beberapa kiai, dalam waktu cukup lama Aula tidak lagi memperhatikan sepak terjang H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press. Namun setelah mendapatkan banyak pengaduan dari masyarakat di beberapa daerah yang tidak mengetahui kronologi persoalan buku H Mahrus Ali, ditambah dengan maraknya dialog di internet pada akhir Oktober lalu, membuat Aula ingin memberikan tambahan informasi. Apalagi ada rombongan dari Tebuireng yang mengunjungi rumah lelaki asal Desa Telogorejo, Sidomukti, Kebomas, Gresik itu.
Khawatir Mengganggu Kerukunan
Adalah KH Thobary Syadzily yang memulai. Salah seorang anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang, Banten itu menulis di akun facebook-nya tentang terbitnya buku H Mahrus yang harus diwaspadai. Judulnya juga cukup menyentak: H Mahrus Ali Pembohong dan Pemecah Belah Ummat.
Telah terbit kembali buku karangan Wahhabi, H Mahrus Ali. Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku-buku lainnya karangan H Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku-buku itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum-oknum yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Begitu sebagian dari bunyi tulisan Kiai Thobary.
Gayung langsung bersambut. Ternyata tulisan itu mendapatkan tanggapan luar biasa dari para penggemar chating. Hanya berselang 2 hari, tidak kurang dari 98 tanggapan masuk. Kebanyakan menghujat penerbit ataupun penulis, mulai dari sekadar mencela sampai yang mohon izin membunuh. “H Mahrus Ali ini bisa memecah belah umat Islam. Saya khawatir mereka bertengkar diakibatkan beredarnya buku-buku yang suka membid’ahkan orang lain itu. Ini harus dihentikan!” Kiai Thobary memberikan alasan sikapnya.
Tidak puas hanya lewat dunia maya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Periuk Jaya Tangerang, Banten itupun “ngeluruk” ke rumah H Mahrus pada 22 November 2010. Bersama Gus Cecep dari Tebuireng, Habib Fikri, kenalan di dekat rumah H Mahrus Ali dan seorang sopir ia mendatangi rumah H Mahrus, dengan terlebih dahulu bertamu pada keponakannya, H Mahmud Ubaid. Gus Cecep adalah cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semasa hidup Gus Dur ia paling sering diajak mendampingi sepupunya itu saat ke makam para shalihin. Tidak heran kalau ia mendapatkan panggilan Sarkub, alias sarjana kuburan. Dunia gaib seakan menjadi kehidupan sehari-hari alumnus Pondok Modern Gontor tersebut. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya mereka bisa bertemu dengan tuan rumah H Mahrus Ali.
H Mahrus Siap Dialog
Duduk di lantai beralas tikar, mereka berdialog, dimulai dengan hal-hal yang ringan. Ketika disinggung mengenai syariat yang berbeda, H Mahrus lebih banyak menghindar. Namun ketika menyangkut buku karyanya ia dengan senang hati melayani. Bahkan dengan penuh percaya diri ia meminta untuk dikoreksi. “Mana yang salah, saya siap mengoreksi, ini demi kebaikan bersama,” kata H Mahrus, seperti yang ditirukan Gus Cecep.
Pembicaraan mulai serius saat menyentuh judul buku-bukunya yang dapat dengan mudah memancing emosi warga NU. “(judul) Itu bukan kemauan saya, saya hanya buat naskahnya,” elak H Mahrus. Mengapa tidak mengajukan keberatan? “Sudah. Tapi saya tidak kuasa untuk itu,” balas H Mahrus tak mau kalah. Akhirnya ia diminta menuliskan pernyataan bahwa judul buku memang bukan atas kemauan dirinya, melainkan kehendak penerbit. Inilah yang mungkin akan dipersoalkan lebih serius oleh rombongan dari Tebuireng tersebut.
Pembicaraan selanjutnya adalah soal hisab-rukyat. Sebab dalam buku karyanya, H Mahrus menyebutkan bahwa penentuan awal bulan menggunakan ilmu hisab adalah bid’ah, karena tidak ada ajaran dari Rasulullah, tidak ada Hadisnya. Dan pada kenyataannya –menurut H Mahrus dalam bukunya itu – ilmu hisab tersebut tidak menyelesaikan persoalan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. “Coba kalau dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan rukyat, maka persoalan akan selesai,” begitu analogi H Mahrus. Enteng.
Ditanya tentang cara melakukan rukyat, mengingat posisi hilal belum diketahui (sementara munculnya kadang hanya dalam hitungan menit atau detik) H Mahrus tampak kurang memahami persoalan itu. “Kalau soal penentuan hari raya, saya percaya NU,” jawabnya singkat tanpa perasaan bersalah. Para tamunya tampak kaget, mengingat NU menggunakan rukyat, namun dipandu dengan hisab sebelumnya.
Lalu, data-data tulisan tentang ilmu hisab yang ada di buku itu dapat dari mana? “Saya ambil dari internet,” tuturnya lirih sambil tersipu-sipu. Kiai Thobary hanya tersenyum melihat keterbatasan penulis yang dalam bukunya dilabeli “Syeikh” itu. Sampai saat itu H Mahrus belum mengetahui kalau orang yang duduk di hadapannya adalah Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Banten dan salah seorang anggota tim Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI.
Menjelang akhir pertemuan, H Mahrus kembali menegaskan kesiapannya melakukan dialog terbuka. Hanya saja tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Kali ini bukan persoalan uang, tapi hanya masalah tempat. Ia minta tempat yang aman, bukan di tempat komunitas orang NU. Dan tempat aman yang dimaksud adalah gedung kepolisian! Para tamu itupun hanya tersenyum menanggapinya.
Di sisi lain, saat dialog berlangsung itu Gus Cecep melihat ada makhluk lain yang selalu mendampingi H Mahrus. Tidak ikut bicara, namun cukup untuk memberikan spirit pada penganjur aliran shalat langsung di atas tanah dan memakai sandal tersebut. “Dia itu gurunya saat di Makkah dulu,” tutur Gus Cecep, yang biasa diajak Gus Dur keliling ke makam-makam keramat.
Sepulang dari rumah H Mahrus, mereka sempat memotret warkop yang biasa ditempati H Mahrus bercengkrama. Mereka pun tampak puas dengan kunjungan itu dan memiliki kesimpulan yang sama, bahwa nama H Mahrus Ali tidaklah sehebat yang digembar-gemborkan. Namun soal sikap akhir, keduanya belum satu kata. Kiai Thobary ingin agar PWNU Jawa Timur bersikap lebih tegas lagi pada H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press, mengingat buku-buku yang diterbitkan sangat membahayakan kerukunan umat Islam dan mengandung unsur adu domba.
Sedangkan Gus Cecep bersikap sebaliknya. Ia ingin orang itu dibiarkan saja, toh masyarakat sudah pada tahu siapa sebenarnya dia. “Kalau diurusi serius, dia malah terkenal,” ujarnya memberikan alasan. Bagaimana dengan kita? (M. Subhan)
*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Januari 2011 dalam rubric “Liputan Khusus”.
Rating Blog: 5 dari 5
Ditulis oleh Admin
Anda sedang membaca artikel Polemik Mahrus Ali Belum Selesai. Jika ingin mengutip, harap memberikan link aktif dofollow ke URL http://mantankiainu.blogspot.com/2012/07/polemik-h-mahrus-ali-belum-selesai.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar