Laman

Jumat, 28 Desember 2012

INSAFNYA PENGINGKAR KITAB IHYA ULUMIDDIN



 
Syaikh Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i bercerita, bahwah Syaikh Abul Hasan Ali bin
Harzahim Al-Faqih Al-
Maghrobi, adalah orang yang
sangat di dengar dan
di patuhi kata-katanya oleh banyak orang kala itu, dan Ia
adalah juga orang yang sangat mengingkari kitab
Ihya’ Ulumiddin.
Pada suatu saat Ia memerintahkan
masyarakat agar mencari dan mengumpulkan naskah-naskah kitab Ihya’, Ia bermaksud membakarnya di
Masjid Jami’ pada hari Jum’at di saat orang-orang berkumpul guna menjalankan ibadah sholat
Jum’at.
Akan tetapi pada malam jum’atnya, Ia bermimpi masuk kedalam masjid jami’
dan mandapati Nabi
Muhammad saw, Abu Bakar ra dan Umar bin Khotthob ra
sedang duduk-duduk disitu,
sementara Imam Ghozali sedang berdiri dihadapan
Nabi Muhammad saw. Ketika
Al-Faqih As-Syaikh Abul Hasan Ali bin Harzahim Al-
Maghrabi masuk kedalam masjid, Imam Ghozali berkata
kepada Nabi Muhammad
saw:

“Itulah orang yang
memusuhiku wahai
Rasulullah, Jika yang benar adalah seperti apa yang Ia yakini, maka aku akan
bertaubat kepada Allah saw.
Tetapi jika tenyata apa yang aku tulis adalah yang benar,
berkat barokah dan karena
mengikuti sunnahmu, maka ambilkan hakku untukku dari
musuhku”.

Mendengar laporan Imam Ghozali, Nabi Muhammad saw lantas mengambil kitab Ihya’ dan membukanya
selembar demi selembar dari
awal hingga akhir, lalu Nabi
Muhammad saw berkata:

“Demi Allah sesungguhnya
kitab ini adalah sesuatu yang
bagus”.

Kemudian Abu Bakar
ra pun mengambil dan memandanginya selembar- demi selembar, demikian
juga Umar bin Khotthob ra,
keduanya sama-sama
menyatakan kesalutan dan simpatinya terhadap kitab
ihya’ yang mereka anggap bagus.
Setelah menyimak dan mentela’ah isi kandungan
kitab Ihya’ Ulumiddin Nabi Muhammad lalu memutuskan
untuk menghukum cambuk
Al-Faqih As-Syaikh Abul Hasan Ali bin Harzahim Al-
Maghrabi karena
kebohongannya. Tetapi baru sampai pada cambukan yang
kelima, Abu Bakar ra
bermaksud menolongnya
dengan berbicara kepada Nabi Muhammad saw:,

“Ya Rasulullah,
mungkin saja ia
menganggap bahwa isi kandungan kitab Ihya’menyalahi sunnahmu, tetapi
ternyata ia keliru”.

Rasulullah Saw
menyerahkan seluruhnya
kepada Imam Ghozali, dan Imam Ghozali pun menerima usulan yang dikemukakan
oleh Abu Bakar, juga sudi memaafkan kesalahan Ibnu
Harzahim Al-Maghrabi.
Sampai disini Ibnu Harzahim
terbangun dari tidurnya dan
mendapatkan adanya bekas cambukan dipunggungnya.
Kemudian ia
memberitahukan hal ini
kepada pengikut-
pengikutnya dan
menyatakan bertaubat kepada Allah atas
kekeliruannya juga meminta maaf kepada Imam Ghozali.
Hari demi hari berlalu, tetapi
nyeri bekas cambukan itu masih saja di rasakannya,
akhirnya ia putuskan untuk lebih mendekatkan diri dan
lebih menghibah lagi kepada Allah saw serta meminta
pertolongan Allah swt
dengan lantaran Nabi
Muhammad saw, sampai akhirnya ia kembali memimpikan Nabi saw
mendatanginya lalu
mengusapkan tangan beliau yang mulya kepunggungnya,
lantas sembuhlah
punggungnya atas izin Allah swt.
Setelah kejadian ini, Ibnu Harzahim terus menerus mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin, sehingga Allah
swt membuka hatinya,
menjadikannya orang yang ma’rifat billah dan menjadi
salah seorang dari akaabirul masyaayikh dalam bidang
ilmu dzohir dan ilmu bathin.
Semoga Allah swt
memberinya rahmat.
Syaikh Abdullah bin As’ad Al- Yafi’i Sang perowi cerita ini
berkata:
“Cerita ini saya
dapat dengan sanad yang shohih, dari waliyullah ke
waliyullah, yaitu dari Asy-Syaikhul kabir Al-Quthb Syihabuddin Ahmad bin Al-
Milaq Asy-Syadzili dari
gurunya Asy-Syaikhul kabir Al-‘Arif billah Yaqut Asy-Syadzili dari gurunya Asy-
Syaikhul kabir Al-‘Arif billah Abil ‘Abbas Al-Mursi dari
Syaikhus Syuyukh Abil Hasan Asy-Syadzili, yaitu seorang
waliyullah yang semasa dengan Ibnu Harzahim. Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili berkata:
“Dan sewaktu Ibnu
Harzahim rahimahullah
meninggal dunia, bekas cambukan itu masih tampak
jelas dipunggungnya”.
Sumber cerita, Kitab Ta’riful Ahya’ Bifadlooilil Ihya’ lisy
Syaikh Al-Allamah Abdul Qodir bin Syaikh bin Abdullah
Al-Idrus yang wafat pada tahun 1038 H.
Sumber : http://
www. kang mahfudz.co.cc

Cerpen GusMus : GusJakfar



Di antara putera-putera Kiai
Saleh, pengasuh pesantren
"Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di
daerah kami, Gus Jakfar-lah yang
paling menarik perhatian
masyarakat. Mungkin Gus Jakfar
tidak sealim dan sepandai
saudara-saudaranya, tapi dia
mempunyai keistimewaan yang
membuat namanya tenar hingga
ke luar daerah, malah konon
beberapa pejabat tinggi dari
pusat memerlukan sowan
khusus ke rumahnya setelah
mengunjungi Kiai Saleh. Kata
Kang Solikin yang dekat dengan
keluarga ndalem, bahkan Kiai
Saleh sendiri segan dengan
anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua
dari beliau sendiri," cerita Kang
Solikin suatu hari kepada kawan-
kawannya yang sedang
membicarakan putera bungsu
Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar
biasa," kata Mas Bambang,
pegawai Pemda yang sering
mengikuti pengajian subuh Kiai
Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas
saja mereka melihat kening
orang, kok langsung bisa melihat
rahasianya yang tersembunyi.
Kalian ingat, Sumini yang anak
penjual rujak di terminal lama
yang dijuluki perawan tua itu,
sebelum dilamar orang sabrang
kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu
Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat
keningmu kok bersinar, sudah
ada yang ngelamar ya?'. Tak lama
kemudian orang sabrang itu
datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu,"
timpal Mas Guru Slamet. "Kalian
kan mendengar sendiri ketika
Gus Jakfar bilang kepada tukang
kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat
hidung sampeyan kok sudah
bengkok, sudah capek
menghirup nafas ya?' Lho,
ternyata besoknya Kang Kandar
meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus
Jakfar hanya berkelakar," sahut
Ustadz Kamil, "Nggak tahunya
beliau sedang membaca tanda
pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami sendiri,"
kata Lik Salamun, pemborong
yang dari tadi sudah kepingin
ikut bicara. "Waktu itu, tak ada
hujan tak ada angina, Gus Jakfar
bilang kepada saya, 'Wah, saku
sampeyan kok mondol-mondol;
dapat proyek besar ya?' Padahal
saat itu saku saya justru sedang
kemps. Dan percaya atau tidak,
esok harinya saya memenangkan
tender yang diselenggarakan
Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu
kasyaf?" tanya Pak Carik yang
sejak tadi hanya asyik
mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz
Kamil. "Makanya saya justru takut
ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca
tanda-tanda buruk saya, lalu
pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus
Jakfar berubah, masyarakat pun
geger; terutama para santri
kalong, orang-orang kampung
yang ikut mengaji tapi tidak
tinggal di pesantren seperti Kang
Solikin yang selama ini merasa
dekat dengan beliau. Mula-mula
Gus Jakfar menghilang
berminggu-minggu, kemudian
ketika kembali tahu-tahu
sikapnya berubah menjadi
manusia biasa. Dia sama sekali
berhenti dan tak mau lagi
membaca tanda-tanda. Tak mau
lagi memberikan isyarat-isyarat
yang berbau ramalan. Ringkas
kata, dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau
hilang pada saat beliau
menghilang itu," komentar Mas
Guru Slamet penuh penyesalan.
"Wah, sayang sekali! Apa
gerangan yang terjadi pada
beliau?"
"Ke mana beliau pergi saat
menghilang pun, kita tidak tahu;"
kata Lik Salamun. "Kalau saja kita
tahu ke mana beliau pergi,
mungkin kita akan mengetahui
apa yang terjadi pada beliau dan
mengapa beliau kemudian
berubah."
"Tapi, bagaimanapun ini ada
hikmahnya," ujar Ustadz Kamil.
"Paling tidak, kini kita bisa setiap
saat menemui Gus Jakfar tanpa
merasa deg-degan dan was-was;
bisa mengikuti pengajiannya
dengan niat tulus mencari ilmu.
Maka, jangan kita ingin
mengetahui apa yang terjadi
dengan gus kita ini hingga
sikapnya berubah atau ilmunya
hilang, sebaiknya kita langsung
saja menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz
Kamil, pada malam Jum'at
sehabis wiridan salat Isya, saat
mana Gus Jakfar prei, tidak
mengajar; rombongan santri
kalong sengaja mendatangi
rumahnya. Kali ini hampir semua
anggota rombongan merasakan
keakraban Gus Jakfar, jauh
melebihi yang sudah-sudah.
Mungkin karena kini tidak ada
lagi sekat berupa rasa segan,
was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari,
akhirnya Ustadz Kamil berterus
terang mengungkapkan maksud
utama kedatangan rombongan:
"Gus, di samping silaturahmi
seperti biasa, malam ini kami
datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya,
kami penasaran dan sangat ingin
tahu latar belakang perubahan
sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus
Jakfar sambil tersenyum penuh
arti. "Sikap yang mana? Kalian ini
ada-ada saja. Saya kok merasa
tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan
suka membaca tanda-tanda
orang," tukas Mas Guru Slamet,
"kok sekarang tiba-tiba mak pet,
sampeyan tak mau lagi
membaca, bahkan diminta pun
tak mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar seperti
benar-benar baru tahu. Tapi dia
tidak segera meneruskan
bicaranya. Diam agak lama. Baru
setelah menyeruput kopi di
depannya, dia melanjutkan,
"Ceritanya panjang." Dia berhenti
lagi, membuat kami tidak sabar,
tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, saya lama
menghilang?" akhirnya Gus
Jakfar bertanya, membuat kami
yakin bahwa dia benar-benar
siap untuk bercerita. Maka
serempak kami mengangguk.
"Suatu malam saya bermimpi
ketemu ayah dan saya disuruh
mencari seorang wali sepuh
yang tinggal di sebuah desa kecil
di lereng gunung yang jaraknya
dari sini sekitar 200 km kea rah
selatan. Namanya Kiai Tawakkal.
Kata ayah dalam mimpi itu, hanya
kiai-kiai tertentu yang tahu
tentang kiai yang usianya sudah
lebih 100 tahun ini. Santri-santri
yang belajar kepada beliau pun
rata-rata sudah disebut kiai di
daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi
itu, saya tidak bisa menahan
keinginan saya untuk berkenalan
dan kalau bisa berguru kepada
Wali Tawakkal itu. Maka dengan
diam-diam dan tanpa pamit
siapa-siapa, saya pun pergi ke
tempat yang ditunjukkan ayah
dalam mimpi dengan niat
bilbarakah dan menimba ilmu
beliau. Ternyata, ketika sampai di
sana, hampir semua orang yang
saya jumpai mengaku tidak
mengenal nama Kiai Tawakkal.
Baru setelah seharian melacak ke
sana kemari, ada seorang tua
yang memberi petunjuk."
'Cobalah nakmas ikuti jalan
setapak di sana itu' katanya.
'Nanti nakmas akan berjumpa
dengan sebuah sungai kecil;
terus saja nakmas menyeberang.
Begitu sampai seberang, nakmas
akan melihat gubuk-gubuk kecil
dari bambu. Nah, kemungkinan
besar orang yang nakmas cari
akan nakmas jumpai di sana. Di
gubuk yang terletak di tengah-
tengah itulah tinggal seorang tua
seperti yang nakmas gambarkan.
Orang sini memanggilnya Mbah
Jogo. Barangkali itulah yang
nakmas sebut Kiai siapa tadi?'
'Kiai Tawakkal.'
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin
itulah orangnya, Mbah Jogo.'
"Saya pun mengikuti petunjuk
orang tua itu, menyeberang
sungai dan menemukan
sekelompok rumah gubuk dari
bambu."
"Dan betul, di gubuk bambu yang
terletak di tengah-tengah, saya
menemukan Kiai Tawakkal alias
Mbah Jogo sedang dikelilingi
santri-santrinya yang rata-rata
sudah tua. Saya diterima dengan
penuh keramahan, seolah-olah
saya sudah merupakan bagian
dari mereka. Dan kalian tahu?
Ternyata penampilan Kiai
Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sosoknya sebagai
orang tua. Tubuhnya tegap dan
wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan
kearifan. Bicaranya jelas dan
teratur. Hampir semua kalimat
yang meluncur dari mulut beliau
bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti,
menarik nafas panjang, baru
kemudian melanjutkan, "Hanya
ada satu hal yang membuat saya
terkejut dan tgerganggu. Saya
melihat di kening beliau yang
lapang ada tanda yang jelas
sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan huruf yang cukup
besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'.
Astaghfirullah! Belum pernah
selama ini saya melihat tanda
yang begitu gambling. Saya ingin
tidak mempercayai apa yang
saya lihat. Pasti saya keliru. Masak
seorang yang dikenal wali,
berilmu tinggi, dan disegani
banyak kiai yang lain, disurati
sebagai ahli neraka. Tak
mungkin. Saya mencoba
meyakin-yakinkan diri saya
bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di
kening beliau. Bahkan
belakangan saya melihat tanda
itu semakin jelas ketika beliau
habis berwudhu. Gila!"
"Akhirnya niat saya untuk
menimba ilmu kepada beliau,
meskipun secara lisan memang
saya sampaikan demikian, dalam
hati sudah berubah menjadi
keinginan untuk menyelidiki dan
memecahkan keganjialan ini.
Beberapa hari saya amati
perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak
melihat sama sekali hal-hal
mencurigakan. Kegiatan rutinnya
sehari-hari tidak begitu berbeda
dengan kebanyakan kiai yang
lain: mengimami salat jamaah;
melakukan salat-salat sunnat
seperti dhuha, tahajjud,
witir,dsb.; mengajar kitab-kitab
(umumnya kitab-kitab besar);
mujahadah; dzikir malam;
menemui tamu; dan
semacamnya. Kalaupun beliau
keluar, biasanya untuk
memenuhi undangan hajatan
atau- dan ini sangat jarang
sekali- mengisi pengajian umum.
Memang ada kalanya beliau
keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-
santri yang lama, itu pun
merupakan kegiatan rutin yang
sudah dijalani Kiai Tawakkal
sejak muda. Semacam lelana
brata, kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu
tinggal di 'pesantren bambu',
saya mendapat kesempatan atau
tepatnya keberanian untuk
mengikuti Kiai Tawakkal keluar.
Saya pikir, inilah kesempatan
untuk mendapatkan jawaban
atas tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam
purnama, saya melihat Kiai keluar
dengan berpakaian rapi. Melihat
waktunya yang sudah larut, tidak
mungkin beliau pergi untuk
mendatangi undangan hajatan
atau lainnya. Dengan hati-hati
saya membuntutinya dari
belakang; tidak terlalu dekat, tapi
juga tidak terlalu jauh. Dari jalan
setapak hingga ke jalan desa, Kiai
terus berjalan dengan langkah
yang tetap tegap. Akan ke mana
beliau gerangan? Apa ini yang
disebut semacam lelana brata?
Jalanan semakin sepi; saya pun
semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba
Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan
kebun sengon, beliau berbelok.
Ketika kemudian saya ikut belok,
saya kaget, ternyata sosoknya tak
kelihatan lagi. Yang terlihat justru
sebuah warung yang penuh
pengunjung. Terdengar gelak
tawa ramai sekali. Dengan
bengong saya mendekati
warung terpencil dengan
penerangan petromak itu. Dua
orang wanita- yang satu masih
muda dan yang satunya lagi agak
lebih tua- dengan dandanan
yang menor sibuk melayani
pelanggan sambil menebar tawa
genit ke sana kemari. Tidak
mungkin Kiai mampir ke warung
ini, pikir saya. Ke warung biasa
saja tidak pantas, apalagi
warung yang suasananya saja
mengesankan kemesuman ini.
'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya
dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-
manggil nama saya. Masyaallah,
saya hampir-hampir tidak
mempercayai pendengaran dan
penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal
melambaikan tangan dari dalam
warung. Ah. Dengan kikuk dan
pikiran tak karuan, saya pun
terpaksa masuk dan
menghampiri kiai yang saya yang
duduk santai di pojok. Warung
penuh dengan asap rokok.
Kedua wanita menor menyambut
saya dengan senyum penuh arti.
Kiai Tawakkal menyuruh orang
disampingnya untuk bergeser,
'Kasi kawan saya ini tempat
sedikit!' Lalu, kepada orang-
orang yang ada di warung, Kiai
memperkenalkan saya. Katanya,
'Ini kawan saya, dia baru datang
dari daerah yang cukup jauh. Cari
pengalaman katanya'. Mereka
yang duduknya dekat serta
merta mengulurkan tangan,
menjabat tangan saya dengan
ramah; sementara yang jauh
melambaikan tangan".
"Saya masih belum sepenuhnya
menguasai diri, masih seperti
dalam mimpi, ketika tiba-tiba
saya dengar Kiai menawari,
'Minum kopi ya?!' Saya
mengangguk asal mengangguk.
'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai
kepada wanita warung sambil
mendorong piring jajan ke dekat
saya. 'Silakan! Ini namanya rondo
royal, tape goreng kebanggan
warung ini! Lagi-lagi saya hanya
menganggukkan kepala asal
mengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian asyik
kembali dengan 'kawan-kawan'-
nya dan membiarkan saya
bengong sendiri. Saya masih tak
habis pikir, bagaimana mungkin
Kiai Tawakkal yang terkenal
waliyullah dan dihormati para
kiai lain bisa berada di sini. Akrab
dengan orang-orang beginian;
bercanda dengan wanita
warung. Ah, inikah yang disebut
lelana brata? Ataukah ini
merupakan dunia lain beliau
yang sengaja disembunyikan
dari umatnya? Tiba-tiba saya
seperti mendapat jawaban dari
tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya dan
karenanya saya bersusah payah
mengikutinya malam ini. O,
pantas di keningnya kulihat
tanda itu. Tiba-tiba sikap dan
pandangan saya terhadap beliau
berubah."
'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba
suara Kiai Tawakkal
membuyarkan lamunan saya.
'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa
menunggu jawaban saya, Kiai
membayari minuman dan
makanan kami, berdiri, melambai
kepada semua, kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata
setelah melewati kebon sengon,
Kiai Tawakkal tidak menyusuri
jalan-jalan yang tadi kami lalui.
'Biar cepat, kita mengambil jalan
pintas saja!' katanya."
"Kami melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya
sampai di sebuah sungai. Dan,
sekali lagi saya menyaksikan
kejadian yang menggoncangkan.
Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-
olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau
menoleh ke arah saya yang
masih berdiri mematung. Beliau
melambai. 'Ayo!' teriaknya.
Untung saya bisa berenang; saya
pun kemudian berenang
menyeberangi sungai yang
cukup lebar. Sampai di seberang,
ternyata Kiai Tawakkal sudah
duduk-duduk di bawah pohon
randu alas, menunggu. 'Kita
istirahat sebentar,' katanya tanpa
menengok saya yang sibuk
berpakaian. 'Kita masih punya
waktu, insya Allah sebelum
subuh kita sudah sampai
pondok.'
Setelah saya ikut duduk di
sampingnya, tiba-tiba dengan
suara berwibawa, Kiai berkata
mengejutkan, 'Bagaimana? Kau
sudah menemukan apa yang
kaucari? Apakah kau sudah
menemukan pembenar dari
tanda yang kaubaca di kening
saya? Mengapa kau seperti masih
terkejut? Apakah kau yang mahir
melihat tanda-tanda menjadi
ragu terhadap kemahiranmu
sendiri?' Dingin air sungai
rasanya semakin menusuk
mendengar rentetan pertanyaan
beliau yang menelanjangi itu.
Saya tidak bisa berkata apa-apa.
Beliau yang kemudian terus
berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena
kau melihat tanda "Ahli Neraka"
di kening saya. Kau pun tidak
perlu bersusah-payah mencari
bukti yang menunjukkan bahwa
aku memang pantas masuk
neraka. Karena, pertama, apa
yang kau lihat belum tentu
merupakan hasil dari pandangan
kalbumu yang bening. Kedua,
kau kan tahu, sebagaimana
neraka dan sorga, aku adalah
milik Allah. Maka terserah
kehendak-Nya, apakah Ia
memasukkan diriku ke sorga
atau neraka. Untuk memasukkan
hamba-Nya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak
memerlukan alasan. Sebagai kiai,
apakah kau berani menjamin
amalmu pasti mengantarkanmu
ke sorga kelak? Atau kau berani
mengatakan bahwa orang-orang
di warung yang tadi kau
pandang sebelah mata itu pasti
masuk neraka? Kita berbuat baik
karena kita ingin dipandang baik
oleh-Nya, kita ingin berdekat-
dekat dengan-Nya, tapi kita tidak
berhak menuntut balasan
kebaikan kita. Mengapa? Karena
kebaikan kita pun berasal dari-
Nya. Bukankah begitu?'
Aku hanya bisa menunduk.
Sementara Kiai Tawakkal terus
berbicara sambil menepuk-
nepuk punggung saya. 'Kau
harus lebih berhati-hati bila
mendapat cobaan Allah berupa
anugerah. Cobaan yang berupa
anugerah tidak kalah gawatnya
dibanding cobaan yang berupa
penderitaan. Seperti mereka
yang di warung tadi; kebanyakan
mereka orang susah. Orang
susah sulit kau bayangkan
bersikap takabbur; ujub, atau
sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri.
Berbeda dengan mereka yang
mempunyai kemampuan dan
kelebihan: godaan untuk
takabbur dan sebagainya itu
datang setiap saat. Apalagi bila
kemampuan dan kelebihan itu
diakui oleh banyak pihak'
Malam itu saya benar-benar
merasa mendapatkan
pemahaman dan pandangan
baru dari apa yang selama ini
sudah saya ketahui.
'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai
bangkit. 'Sebentar lagi subuh.
Setelah sembahyang subuh nanti,
kau boleh pulang.' Saya tidak
merasa diusir; nyatanya memang
saya sudah mendapat banyak
dari kiai luar biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya
celingukan. Kiai Tawakkal sudah
tak tampak lagi. Dengan bingung
saya terus berjalan. Kudengar
azan subuh berkumandang dari
sebuah surau, tapi bukan surau
bambu. Seperti orang linglung,
saya datangi surau itu dengan
harapan bisa ketemu dan
berjamaah salat subuh dengan
Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan
Kiai Tawakkal, orang yang mirip
beliau pun tak ada. Tak seorang
pun dari mereka yang berada di
surau itu yang saya kenal. Baru
setelah sembahyang, seseorang
menghampiri saya. 'Apakah
sampeyan Jakfar?' tanyanya.
Ketika saya mengiyakan, orang
itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi
barang-barang milik saya sendiri.
'Ini titipan Mbah Jogo, katanya
milik sampeyan.'
'Beliau di mana?' tanya saya
buru-buru.
'Mana saya tahu?' jawabnya.
'Mbah Jogo datang dan pergi
semaunya. Tak ada seorang pun
yang tahu dari mana beliau
datang dan ke mana beliau
pergi.'
Begitulah ceritanya. Dan Kiai
Tawakkal alias Mbah Jogo yang
telah berhasil mengubah sikap
saya itu tetap merupakan
misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri
ceritanya, tapi kami yang dari
tadi suntuk mendengarkan
masih diam tercenung sampai
Gus Jakfar kembali menawarkan
suguhannya.


FP : https://www.facebook.com/pages/Komunitas-Ngaji-Sak-Paran-Paran/218442431604899


Kisah Kewafatan al Habib 'Abdul Qadir bin 'Abdurrahman Assegaf (Ayahanda al Habib Syech bin 'Abdul Qadir Assegaf, Solo)





Shaf pertama penuh berdesak-desakan.

Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf mengisyaratkan kepada Habib Najib bin Thoha Assegaf agar maju ke shaf pertama di belakang beliau.

Melihat shaf pertama yang telah penuh berdesak-desakkan itu Habib Najib bin Thoha berkata, "Shaf pertama telah penuh, wahai Habib."

Mendengar jawaban itu Habib Abdul Qadir menjawab dengan penuh kewibawaan, "Wahai anakku, majulah, kau tak mengetahui maksudku!"

Jawaban itu menjadikan Habib Najib bin Thoha spontan maju ke shaf pertama, walaupun harus memaksakan diri mendesak shaf yang telah penuh itu. "Allaahu akbar".

Shalat jumat mulai didirikan. Habib Abdul Qadir membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat setelahnya dalam keadaan menangis.Di rakaat kedua pada sujud terakhir, beliau tak kunjung bangkit dari sujudnya. Suara nafasnya terdengar dari speaker masjid.

Karena sujud itu sudah sangat lama, maka Habib Najib bin Thoha memberanikan diri untuk menggantikan beliau. "Allaahu akbar", Ucapan salam untuk mengakhiri shalat diucapkan. Para jamaah berhamburan lari ke depan ingin mengetahui apa yang terjadi pada habib Abdul Qadir.

Saat itu mereka mendapati Habib Abdul Qadir tetap dalam keadaan sujud tak bergerak. Lalu tubuh yang bersujud itu dibalik oleh para jamaah, dan terlihatlah wajah Habib Abdul Qadir.

Maasya-Allaah, setiap orang yang melihat wajah beliau, menitikkan air mata. Bagaimana tidak menitikkan air mata? Mereka melihat wajah Habib Abdul Qadir tersenyum dengan jelas sekali. Tersenyum bahagia. Habib Abdul Qadir wafat dalam keadaan menikmati amal yang terindah.

Di saat melakukan ibadah yang teragung yaitu shalat. Mendirikan shalat itu dalam kondisi yang terutama, yaitu shalat berjamaah. Melakukan shalat yang bermuatan besar, yaitu shalat jumat. Pada saat melaksanakan rukun shalat yang terutama, yaitu sujud. Dalam posisi yang terpenting, yaitu sebagai imam shalat jumat. Di tempat yang paling utama, yaitu masjid. Di hari yang paling utama, yaitu hari Jum'at.

dari Sayyidil Habib Husin Nabil

Foto: al Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah, kiri dari layar) dan al Habib 'Abdul Qadir bin 'Abdurrahman Assegaf (Solo, kanan dari layar)

Selasa, 13 November 2012

~10 HAK ANAK TERHADAP ORANG TUA~



KH. ABDUL JALAL
Sabtu, 06 Okt 2012


Rasullullah sallallahu alaihi wasallam bersabda : “Ridha Allah tergantung keridhoan ibu bapak, dan murka Allah tergantung murka ibu bapak”
1. Memberi makan orang tua ketika mereka tidak mampu mencari sendiri.
Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.(QS Lukman : 13)

2. Memberikan pakaian orang tua ketika mereka sudah tidak mampu membeli pakaian sendiri
Orang tua sangat senang bila dibelikan pakaian oleh anaknya, walaupun sangat sederhana bentuk pakaian tersebut, walaupun waktu kecil anak tersebut sering rewel ketika dibelikan pakaian.

3. Ketika mereka butuh dilayani maka layanilah, seperti menuntun, menggendong, dan lain-lainnya. Ingatlah mereka menggendong kita sewaktu kecil dengan senang hati.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"(QS Al Ahqaf : 15)

4. Cepat memenuhi panggilannya.
Ketika zaman khalifah Umar bin Khattab ada seorang yang mengadu tentang hak ibunya, : “Wahai Khalifah, aku mempunyai ibu yang sakit aku selalu merawatnya, aku menyuapinya ketika makan, aku tidak tidur jika beliau belum tidur, dan menggendongnya kemanapun ia ingin pergi, apakah sudah cukup hak beliau? Umar menjawab : “belum, adapun Ibumu memeliharamu adalah dengan senang hati mengharap kau tumbuh besar dan sehat, sedangkan engkau merawatnya tapi dalam hatimu lain dengan harapannya kepadamu sewaktu kecil”.

5. Hendaknya berkata halus kepada orang tua.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .(QS Al Isra’ : 23)

6. Menaati perintah kebaikan mereka dan menjauhi perintah maksiat mereka.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS Lukman : 14)

7. Janganlah memanggil mereka (ortu sendiri) dengan embel-embel nama.
Misalnya nama ibu kita Aisyah, maka jangan sampai menyebutnya bu Aisyah apalagi langsung menyebut namanya Aisyah (jw=njambal)

8. Apabila berjalan, maka di belakang mereka jangan berjalan di depan mereka.

9. Apa-apa yang desenangi kita maka juga mereka senang, janganlah barang yang tidak kita sukai kita berikan kepada orang lain, terlebih kepada ibu bapak.


10. Mendoakan mereka, memintakan ampunan Allah Ta’ala untuk mereka
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(Al Is’ra 24)

Hukama’ (Ulama ahli hukum) berkata :
“barang siapa yang mendurhakai orang tua, ia tidak akan menemukan kebahagiaan atas anaknya”
“barang siapa dalam masalah keluarga tidak mau bermusyawarah ia tidak akan menemukan tujuan hidup atau arti hidup (ma’nal hayah)”

“dalam rumah tangga dibutuhkan akhlaq karimah agar rumah tangga menjadi sakinah, mawaddah dan rahmah”
“apabila anak sudah besar maka janganlah terlalu sering menasehatinya, karena akan hilang wibawa orang tua, maka dakwah dengan khal (perbuatan) lebih efektif ketimbang dakwah dengan aqwal (ucapan).”

“dalam kehidupan tidak cukup hanya dengan berbuat baik kepada Allah dan RasulNya, berbuat baik kepada sesama makhluk juga penting”, seperti sesama manusia, dengan hewan, jangan sampai menyakiti mereka karena mereka juga punya rasa sakit, dan tumbuhan yang baru tumbuh.

“bacalah semua Asma’ul Husna dan temukan yang paling “mengena” di hati anda, gunakanlah sebagai wirid sehari-hari, karena Asma’ul Husnanya Allah cocok untuk seluruh makhluk.”
Suka · ·

FITRAH MANUSIA (Hadits Tarbawy)

Beranda


عن أبى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كل مولود يولد على الفطرة فأباه يُهوّدانه أو ينصرانه اويمجسانه (رواه مالك)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, termasuk anak dari seorang non muslim. Hal ini didasarkan pada riwayat al Hafidz Abu Bakar al Yaqani dari Samurah dari Nabi sallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :
كل مولود يولد على الفطرة, فناداه الناس : يا رسول الله, وأولاد المشركين؟ قال : نعم, وأولاد المشركين

fitrah yang dimaksud dari hadits di atas adalah iman bawaan dari lahir yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala dalam alam lahir
QS Al A’raf 72 :
 Mengetahui fitrah sebagai potensi dan sifat dasar manusia mempunyai manfaat sbb :
1.    Memberikan rasa optimis terhadap kesuksesan meraih cita-cita masa depan
2.    Menanamkan kepercayaan diri melalui potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar serta menjauhi yang mungkar
3.    Mengacu untuk mengejar semua yang baik dan menghindari yang keliru
4.    Membangkitkan semangat untuk mengembangkan berbagai potensi manusia yang meliputi :
1.    Potensi kalbu
2.    Potensi akal
3.    Potensi fisik

Fitrah anak perlu mendapat perhatian, dipelihara dan dikembangkan, terutama oleh kedua orang tua selaku pembina dan penanggungjawab dalam kehidupan keluarga. Merekalah yang berperan dan berpengaruh dalam membentuk keperibadian anak-anak dan mengarahkan masa depan mereka.

Fitrah yang menjadi dasar filosofis yang paling fundamental dari struktur bangunan pendidikan Islam.

Kamis, 13 September 2012

KH MA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial : MENGGALI HUKUM ISLAM




 
SEBAGAI jam'iyah sekaligus gerakan diniyah dan ijtima'iyah sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) meletakkan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai dasarnya. Ia menganut salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Alih mazhab secara total atau pun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) dimungkinkan terjadi, meskipun kenyataan sehari-hari para ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i.


Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk hukum dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak selalu melawan budaya konvensional- berpaling ke mazhab lain. Dalam struktur kepengurusannya, NU mempunyai lembaga Syuriyah yang bertugas antara lain menyelenggarakan forum bahtsul masail secara rutin. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam, yang bertalian dengan masail fiqhiyyah mau pun masalah ketauhidan dan bahkan tasawuf (thariqah). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi, termasuk para pengasuh pesantren.


Masalah-masalah yang dibahas pada umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat, diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi atau pun perorangan. Masalah itu diinventarisasi oleh Syuriyah lalu diseleksi berdasarkan skala prioritas pembahasannya. Kemacetan (mauquf) tidak jarang terjadi di dalam pembahasan masalah semacam itu. Jalan berikutnya adalah mengulang pembahasannya pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, dari ranting ke cabang, dari cabang ke wilayah, dari wilayah ke pengurus besar (pusat), kemudian ke Munas (Musyawarah Nasional) dan terakhir kepada Muktarnar.
***


PENGERTIAN istinbath al-ahkam di kalangan NU bukan mengarnbil hukurn secara langsung dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha' -dalam hal ini Syafi'iyah- dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.


Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur'an dan al-Hadits) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. 


Sementara itu istinbath dalam batas mazhab di samping lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami 'ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.
Oleh karena itu kalimat istinbath di kalangan NU terutma dalam kerja bahtsul masail Syuriyah, tidak populer. Kalimat itu telah populerkan di kalangan ulama dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama Syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah melalui referensi (maraji')kutub al-fuqha'.
***


SIKAP dasar bermazhab telah menjadi pegangan NU sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari referensi dan maraji', berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen; ibadah, mu'amalahmunakahahjinayat,qadla. Para ulama NU dan forum bahtsul masail mengarahkan pengambilan huukum pada aqwal al-mujtahidin yang mutlaq mau pun muntasib. Bila kebetulan mendapatkan qaul manshush(pendapat berdasar nash eksplisit), maka qaul itulah yang dipegangi. Namun kalau tidak, rnaka akan beralih pada qaul mukhoroj.


Bila terjadi khilaf, maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Sering juga ulama NU mengambil keputusan untuk sepakat dalam khilaf, akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah(kebutahan), tahsiniyah (kebagusan) mau pun dlaruriyah (darurat).


Mazhab yang dianut oleh NIJ dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuai dengan mazhab yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, mazhab Syafi'i. Ini punya konsekuensi, para ulama NU dalam fatwa pribadinya mau pun dalam forum bahtsul masail, hampir dapat dipastikan selalu merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah. Kepustakan ulama NU pasti sarat dengan kitab- kitab Syafi'iyah, mulai dari yang paling kecil; Safinatus Sholah karangan KH. Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar, rnisalnya al-Um,al-Majmu' dan lain sebagainya.


Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka, kitab-kitab selain Syafi'iyah, kecuali pada akhir-akhir ini mulai ada koleksi kitab-kitab mazhab Hambali, Hanafi, dan Maliki bagi sebagian kecil ulama. Kecuali harganya belum terjangkau oleh sebagian besar ulama NU, kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia.
Timbul kesan dari kenyataan ini, bahwa NU hanya bermazhab fi al-aqwal tidak dalam manahij (metodologi). Padahal sebenarnya para ularna NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini tergambar dalam kepustakaan mereka, kurikulum pesantren-pesantren yang mereka asuh. Kitab-kitab seperti, waraqat, ghoyah al-Wushul, jam'u al-jawami', al-Mustasyfa, al-asybah wa al-Nadhair, qowaid Ibni Abdissalam, Tarikhu al-Tasyri', dan lain-lain, tidak hanya menjadi koleksi kepustakaan mereka, namun juga dibaca, diajarkan di beberapa pesantren.


Metodologi dalam hal ini digunakan untuk memperkuat pemahaman atas masail furu'iyah yang ada pada kitab-kitab fiqih, di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masail bi nadhoiriha, bukan untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyah.


Gagasan perlunya konsep tajdid muncul di kalangan NU belakangan ini, mengingat makin berkembangnya masalah dan peristiwa hukum yang ternyata belum terakomodasi oleh teks-teks kitab fiqih, di samping munculnya ide kontekstualisasi kitab kuning. Penyelenggaraan halaqah yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pesantren, sebagian untuk merespons gagasan itu. Kesepakatan telah dicapai, dengan menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masail, tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram, melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian-kajian kitab.


Disepakati juga dalam forum itu, perlunya melengkapi referensi mazhab selain Syafi'i dan perlunya disusun sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Mengenai konsep tajdid, PBNU sebelum Muktamar ke-28 di Yogyakarta telah membentuk tim khusus untuk merumuskannya. Tim ini diketuai sendiri oleh Rois Aam Kiai Achmad Siddiq (almarhum) dan saya sebagai wakilnya. Tim ini telah berhasil rnerumuskan "Konsep Tajdid" dalam Pandangan NU.


***
FIQIH yang dipahami NU dalam pengertian terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syari'ah (bukan i'tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil dalil tafsili, adalah fiqih yang diletakkan -oleh para perintisnya (mujtahidin)- pada dasar dasar pembentuknya; alQur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dalam pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbab al-nuzul bagi ayat al-Qur'an dan asbab al-wurud bagi al-Sunnah. Namun konteks lingkungan seperti itu kurang diperhatikan di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman, karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitat furu' al-fiqih. Fungsi syarah,hasyiyahtaqriraat dan ta'liqaat dipandang pula sebagai pelengkap yang memperjelas pemahaman tersebut. Meskipun di dalam kitab-kitab syarahhasyiyahta'liqaat itu sering dijumpai kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl) atas teks-teks matan yang dipelajari/dibahas, namun hal ini kurang mendapat kajian serius.


Pembahasan fiqih secara terpadu dan pengembangannya sangat lamban, bahkan kadang secara eksklusif dipahami, antara ilmu fiqih dengan ilrnu lain yang punya diferensiasi tersendiri, seolah-olah tidak ada hubungannya. Padahal para ulama penyusun dan pembentuk fiqih dahulu selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu di luar fiqih ke dalam fiqih untuk menentukan kesimpulan hukum bagi suatu masalah. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadan dan Syawal, ma'rifatu al-qiblah dan al-waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man'u al-hamli/ibtho'u al-hamli) dalam bab nikah.


Namun sekarang halaqah dan muktamar telah merekomendasikan, agar pada setiap masalah yang akan dibahas Syuriyah diberitashawwur al-masa'il (abstraksi), sehingga dapat jelas masalahnya. Kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin-disiplin ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.



IJTIHAD di kalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk istinbath (menggali) hukum syar'i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari daliltafshili (al-Qur'an dan Sunnah). Ini adalah pengertian ijtihad muthlaq, pelakunya disebut mujtahid muthlaq. Meskipun dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad muthlaq atau tidak, namun para ulama nampaknya sepakat, perlu ada SYARAT SYARAT DAN KETENTUAN KETENTUAN TERTENTU BAGI MUJTAHID MUTLAK.


Di bawah ini, ada tingkat ijtihad fi al-mahab, pelakunya disebut mujtahid fi al-mazhab, lalu di bawahnya lagi ada ijtihad fatwa, pelakunya disebut mujtahid fatwa. Mujtahid tingkat kedua itu, ialah mereka yang mampu meng-istinbath hukum dari kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid muthlaq) yang diikuti. Misalnya Imam al-Muzani, pengikut mazhab Syafi'i. Sedangkan mujtahid fatwa adalah mujtahid yang mempunyai kemampuan mentarjih antara dua qaul yang di-muthlaq-kan oleh Imam Mujtahid yang dianutnya. Misalnya Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i, penganut Imarn Syafi'i.


Di dalam kitab al-Fawaid al-Makkiyah diuraikan, tingkatan ulama fiqih itu ada enam. Pertama mujtahid mustaqil, setingkat al-Syafi'i. Kedua mujtahid muntasib, setingkat Imam al-Muzani. 


Ketigaashhabu al-wujuh, setingkat Imam al-Qaffal. Keempat mujtahid fatwa, setingkat Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i. Kelima pemikir yang mampu mentarjih antar dua pendapat syaikhoni (dua Imam) yang berbeda, misalnya Imam al-Asnawi. Keenam hamalatu al-fiqh, yaitu ulama-ulama yang menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para Imam.


Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. 


Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas'alu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamun, yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.


Ibnu Khaldun juga menceritakan, para Shahabat tidak semuanya ahli fatwa. Begitu pula para Tabi'in. Ini berarti sebagian para Shahabat dan Tabi'in yang paling banyak jumlahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli fatwa. Tidak ada satupun dari sahabat dan tabi'in mengingkari taqlid. Irnam al-Ghozali dalam kitabnya al-Mustashfa mengatakan, para Shahabat telah sepakat (ijma') mengenai keharusan bertaqlid bagi orang awam.


Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan rnungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).
Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom danmatan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyahmenjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyahkitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak).


Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).


***
ISTILAH talfiq muncul dalam pembahasan, apakah ahli taqlid harus memilih satu mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab para mujtahidin? Kalau harus demikian, apakah dibolehkan pindah mazhab secara keselurahan atau hanya dalam masalah tertentu saja? Ataukah tidak harus demikian, sehingga mereka bebas memilih qaul tertentu saja dari sekian mazhab yang standar dan bebas berpindah-pindah mazhab sesuai dengan kebutahan?
Beberapa pertanyaan di atas memang telah menjadi perdebatan Ulama. Imam Zakaria Al-Anshary dalam kitabnya Lubbu al-Ushulmengatakan, yang paling shahih adalah, muqallid wajib menetapi salah satu mazhab tertentu yang diyakini lebih rajih daripada yang lain atau sama. Namun begitu, mereka diperbolehkan pindah ke mazhab lain. Dalam hal ini para ulama mensyaratkan beberapa hal yang antara lain, tidak diperkenankan bersikap talfiq dengan cara mengambil yang paling ringan (tatabbu al-rukhosh) dan beberapa aqwal al-madzahib (pendapat mazhab).


Talfiq secara harfiyah dapat diartikan melipatkan dua sisi sesuatu menjadi satu. Namun talfiq dalam hal taqlid ini, berarti menyatukan dua qaul dari dua mazhab yang berbeda ke dalam problema tertentu, sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat (qaul) bagi dua mazhab tersebut.


Misalnya dalam hal berwudlu; Imam Syafi'i tidak mewajibkan menggosokan anggota badan yang dibasuh, sedangkan Imam Malik mewajibkannya. Dalam hal meraba farji Imam Syafi'i berpendapat, hal itu membatalkan wudlu secara muthlaq, sedangkan Imam Malik berpendapat, tidak membatalkan bila tanpa syahwat. Bila seseorang berwudlu dan tidak menggosok anggota badan karena taqlid kepada Imam Syafi'i namun kemudian meraba farji tanpa ada rasa syahwat, maka batallah wudlunya. Bila ia kemudian melakukan shalat, maka shalatnya juga batal, dengan kesepakatan kedua Imam ini. Karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- rnaka wudlunya telah batal menurut Syafi'i. Begitu juga ketika ia tidak menggosok anggota badan pada wakt wudlu, maka wudlunya tidak sah menurut Imam Malik.


***
RUMUSAN hukum hasil produk bahtsul masail Syuriyah NU, bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama -meskipun bukan peserta forum Syuriyah- menemukan nash/qaul atau 'ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama.


Tidak ada perbedaan, antara pendapat ulama senior maupun yunior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan substansi masalah dan latar belakangnya.


Pemilihan dalam tarjih antara dua qaul dilakukan menurut hasil pentarjihan dari para ahli tarjih yang diuraikan dengan rumus-rumus yang baku dalam isthilahu al-fuqha' al-Syafi'iyah. Misalnya al-Adharal-Masyhural-Ashahhal-Shahihal-Aujah dan lain sebagainya dari shighat tarjih. Ini berarti bahwa forum Syuriyah tidak melakukan tarjih secara langsung, tetapi hanya kadang-kadang menentukan pilihan tertentu sebagai sikap atas dasar perimbangan kebutuhan.


Hasil keputusan bahtsul masail Syuriyah NU itu, oleh cabang-cabang dan ranting disebar luaskan melalui kelompok-kelornpok pengajian rutin, majelis Jumat dan kemudian dipedomani, dijadikan rujukan oleh warga NU khususnya, serta masyarakat pada umunya. Para kiai/ulama NU dalam memberikan petunjuk hukum kepada rnasyarakatnya juga merujuk kepada keputusan forum tersebut.


Hal ini bukan karena keputusan itu mengikat warga NU, namun karena kepercayann dan rasa mantap warga NU dan masyarakat terhadap produk Syuriyah NU. Meskipun masyarakat atau warga NU tahu, proses pengambilan keputusan dalam forum itu terdapat perdebatan yang sengit misalnya, namun bila keputusan telah diambil, masyarakat dan warga NU mengikuti keputusan itu tanpa ada rasa keterikatan-paksa, tetapi justru dengan kesadaran yang mantap, yang mungkin dipengaruhi oleh budaya paternalistik.


Sebagai kesimpulan dari pembahasan mengenai istinbath al-ahkamdalam kerja babtsul masail Syuriyah NU, dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
Kerja bahtsul masail NU mengambil hukum yang manshushmaupun mukhorroj dari kitab-kitab fiqih mazhab, bukan langsung dari sumber al-Qur'an dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan sikap yang dipilih yaitu bermazhab, yang berarti bertaqlid dan tidak berijtihad muthlaq, ijtihad mazhab maupun ijtihad fatwa.


Metodologi ushul al-fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, apalagi bila diperlukan tandhir dan untuk mengembangkan wawasan fiqih.
Ijtihadtaqlid dan talfiq dipahami oleh NU sesuai dengan ketentuan dan pengertian para ulama Syafi'iyah.
Referensi para ulama NU sebagian besar adalah kitab-kitab Syafi'iyah.

Keputusan bahtsul masail Syuriyah NU tidak mengikat secara organisatoris bagi warganya.