Laman

Senin, 13 Agustus 2012

Mahrus Ali Menafikan Hadits Ibnu Umar Tentang Tawassul dan Istighatsah




Serial Akidah: Jawaban Terhadap Kebohongan Buku-buku Mahrus Ali 

عن اِبن عمررضي الله عنه انّه خدرت رجله فقيل له: اُذكر احبّ النّاس اِليك، فقال: يا محمّد، فكانّما نشط من عقال
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yangpaling Anda cintai!”. Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits ini dengan tegas menyatakan akan kebolehan tawassul  dan istighatsah dengan dzat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat. Abdullan bin Umar melakukan hal tersebut setelah Rasulullah SAW wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa bertawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah SAW setelah beliau wafat bukanlah termasuk perbuatan syirik meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil).

Apa Komentar Mahrus Ali?
Dalam bukunya Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali melakukan kebohongan ilmiah. Dia berkata dalam bukunya :
“Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwasanya hadits tersebut lemah, dalam kitabnya Dhaifu al-Adab al-Mufrad 148/964 dari Abdurrahman bin Sa’ad berkata…dst. ini juga lemah.” (al-Kalim al-Thayyib, 173/1).

Selanjutnya tetap di halaman yang sama Mahrus Ali mengatakan:
“Sanad hadits ini menurut Ibnu Sunni sebagai berikut: “Muhammad bin Ibrahim al-Anmati dan Amr bin al-Junaid bin Isa menceritakan kepadaku, keduanya berkata Muhammad bin Khaddasi bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Ayyasy bercerita kepada kami, Abu Ishaq al-Sabi’i bercerita kepada kami dari Abu Syu’bah.” (Lihat buku “Sesat Tanpa Sadar” karangan Mahrus Ali, halaman 191-192).

Inti dari pernyataan Mahrus di atas adalah bahwa hadits Ibnu Umar tersebut tidak bisa dijadikan landasan dengan alasan dha’if, itupun tidak ada kejelasan riwayat. Kami akan tampilkan beberapa riwayat dari jalur yang berbeda, agar semua bisa menjadi jelas.

Tanggapan Kami

Kalau kita mau jujur dengan merujuk pada literatur- literatur hadits maka kita akan menemukan penjelasan yang berbeda 180 derajat dengan yang dikatakan Mahrus. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (hal. 324), al-Hafizh Ibrahim al-Harbi dalam Gharibul-Hadits (II/673-674), al-Hafizh Ibnu al-Sunni dalam ‘Amalul-Yaum wal- Lailah (hal. 72-73), bahkan Ibnu Taimiyah —ideolog pertama aliran Wahabi— dalam kitabnya al-Kalim al-Thayyib (hal. 88), menganjurkan untuk mengamalkan isi hadits ini.

Hadits di atas juga diriwayatkan melalui empat jalur:
  1. Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq al-Sabi’i dari Abdurrahman bin Sa’ad, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al Mufrad.
  2. Zuhair bin Mu’awiyah dari Abu Ishaq dari Abdurrahman bin Sa’ad, yang meriwayatkan melalui jalur ini diantaranya Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat, Ibrahim al-Harbi dalam Gharib al-Hadits, Ibnu Ja’ad dalam Musnad-nya, Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, demikian juga al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal.
  3. Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hans, seperti riwayat Ibnu Sunni dalam Amal al- Yaum Wa al-lailah.
  4. Abu Bakar bin Ayyasy dari Abi Ishaq dari Abi Syu’bah, diantara yang meriwayatkan melalui jalur ini adalah Ibnu Taimiyah dalam al-Kalim al-Thayyib, Ibn-Qayyim Al-Jauziyyah dalam al-Wabil al-Shayyib dan al-Syaukani dalam Tuhfah al-Dzakirin, dimana ketiganya adalah ulama rujukan Mahrus Ali, juga meriwatkan dari jalur yang sama.

Sanad hadits di atas yang selalu ditampilkan oleh Mahrus Ali untuk dijadikan sebagai landasan. Tim LBMJember menduga bahwa dengan memasukkannya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim akan hadits ini ke dalam kitabnya, cukup sebagai bantahan untuk membantah pernyataan Mahrus Ali dan bisa mcmbuat dia sadar akan kesalahan yang telah dia perbuat. Namun dugaan tersebut ternyata salah total dan kenyataannya berbalik 180 derajat, bukannya sadar dan mengakui kisalahannya, Mahrus Ali malah menyalahkan Ibnu Taimiyah yang notabene panutan utama kaum Wahabi.

Seandainya kita berpendapat bahwa hadits di atas dengan kitiga jalur sanadnya adalah dha’if, hadits tersebut masih tetap bisa dijadikan pijakan, sebab antara hadits yang satu dengan yang lain bisa saling menguatkan, sehingga posisinya naik pada peringkat selanjutnya, yaitu hasan. Bahkan ada seorang ulama bernama Majdi Ghassan yang menulis satu risalah khusus mengkaji hadits ini, dan ia namakan al- Qaul al-Fashl al-Musaddad Fi Sihhah Hadits Ya Muhammad.

Wallahu a’lam
(Ditulis kembali dan dipublikasikan oleh Tim Sarkub dari Buku Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar)

Tidak ada komentar: