Laman

Jumat, 08 Juni 2012

MANAKAH SEBENARNYA YANG MERUPAKAN QO'IDAH USHUL FIQIH??

MANAKAH SEBENARNYA YANG MERUPAKAN QO'IDAH USHUL FIQIH?? pada ungkapan "laukana khairan lasabaquna ilaih", jika perkara itu baik, niscaya (para pendahulu / sahabat,) lebih dulu melakukannya, di dalam tafsir ibnu katsir (abul fida ibnu katsir addimisyqi) 774 hijriah, jumlah kitabnya 4 jilid, cetakan darul kutub, beliau di dalam mengomentari isi ayat 39 pada surah an-Najm di jilid ke 4 halaman 236, beliau menuliskan ungkapan itu dalam menanggapi tentang pendapat jumhur ulama' yang shohih tentang sampainya kiriman pahala alqur'an pada mayyit, beliau mengatakan bahwaimam syafi'i berkata bahwa tidak sampai pahala itu , dengan mengutip pendapat masyhur dari kalangan syafi'iyah, tetapi akhirnya beliau berkomentar lagi, bahwa Alhasil bacaan al-qur'an yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai. Menurut imam syafi'i pada waktu beliau masih di madinah dan di baghdad, qaul beliau sama dengan imam malik dan imam hanafi, bahwa bacaan al-qur'an tidak sampai ke mayit, tetapi setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan pahala bacaan al-qur'an yang di hadiahkan ke mayit itu sampai tapi dengan syarat ditambah dengan berdoa"Allahumma awshil tsawabaha a....dst" yang artinya mengisyaratkan do'a atau permohonan khususiyah yang di tujukan pada si fulan supaya pahala di berikan pada si fulan,, Imam ibnu katsir di dalam tafsir nya itu bertindak adil dengan mengutip pendapat dari dua kubu, yaitu pendapat yang masyhur, dan pendapat yang shohih jumhur,, Saat imam ibnu katsir mengutip pendapat yang masyhur tentang perkara amaliyah bacaan alqur'an,beliau membawakan ungkapan laukana khairan lasabaqunailaih , imam ibnu katsir membawakan ungkapan itu bukan berarti beliaujadikan sebagai patokan qo'idah ushul fiqih, sebab tidak pernah ada dalam ushul fiqih qo'idah seperti itu.. Beliau mengungkapkan hal itu adalah sebagai penjelas bahwa perkara kirim pahala ayat al qur'an itu adalah perkara bid'ah, namun bukan berarti imam ibnu katsir beranggapan bahwa semuabid'ah itu sesat, sebab beliau adalah pengikut madzhab syafi'i yang menyetujui akan adanya bid'ah hasanah dan bid'ah madzmumah. Laukana khairan.. .. .. Adalah ungkapan dzaan, yang dalam satu sisi mengandung khusnudzan (pada para sahabat pendahulu), namun di sisi lain juga mengandung sifat su'udzan pada (ulama' kemudian). Ungkapan dzan ini lah yang mengindikasikan tentang makna bid'ah yang secara objektif.. Ungkapan di atas, itu adalah ungkapan yang tidaklah masyhur dalam kalangan ahli ushul fiqih, dan kenyataan nya ungkapan itu tidak masuk kategori ushul fiqih yang mu'tabar, Jadi, ungkapan ibnu katsir diatas, bukan sebagai qo'idah ushul fiqih, melainkan itu untuk menjelaskan BAHWA BID'AH ADALAH SUATU HAL YANG MEMUNGKINKAN BAGI NABI UNTUKMELAKUKAN NYA, NAMUN NABI TIDAK PERNAH MELAKUKAN NYA. Jadi pernyataan lau kana khairan...dst, itu bukanlah qo'ida.. Karena Qo'idah itu tidak berisi dzan yang tidak baku, definisi kaidah seperti apakah, yang dapat di akui keakuratan nya..? Maka para ulama telah memberi urutan dengan jelas.. Hukum yang paling pertama dengan tingkat akurat sempurna adalah:

1 komentar:

Komunitas Ngaji Sak Paran-Paran mengatakan...

>AL-QUR'AN
Hukum kedua dengat tingat akurat kedua adalah
> AS-SUNNAH
Setelah itu
>QIYAS PARA AHLI ULAMA' MUJTAHID
Dan juga
>IJMA' JUMHUR ULAMA' SEPANJANGZAMAN.
Itulah tingkat ke akuratan dalam rujukan hukum.
kaidah al-muhāfazah …
‘memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik’ (al-muhafazah ‘alaal-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah)..
Abu Bakr al-Dimyati, I’anahal-Talibi n IV, (al-Qahirah: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-ilmiyah)
Agama dan budaya adalah suatu yang berbeda, masing-masing mempunyai independensi sendiri-sendiri , tetapi wilayah masing-masing seringkali tumpang tindih.
Agama bersifat suci, berasal dari wahyu, karena itu cenderung statis, normatif dan permanen.
Sementara budaya terus menerus berubah karena watak kesejarahannya.
Meski agama suci dan permanen, tetapi agama mendarat dalam budaya karena agama dipeluk manusia.
Kalaupun ada ketegangan, tumpang tindih wilayah agama dan budaya itu akan selesai dengan sendirinya karena akan terjadi proses rekonsiliasi dari persamaan yang ada, baik agama maupun budaya.
Hukum fikih yang disusun dari kerangka teoritis ilmu usul al-fi’qhtelah mengantisipasi gejala historis tersebut.
Sebagai contoh kesadaran historis semacam itu ialah kaidah yang dirumuskan ‘memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik’ (al-muhafazah ‘alaal-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah) atau ‘adat kebiasaan menjadi hukum’ (al-’adah muhakkamah).
Dengan kaidah semacam ini makaketegangan yang muncul antara agama dan budaya dapat diselesaikan melalui proses rekonsiliasi untuk saling menerima, tidak bermusuhan.
Tradisi budaya seperti wayang, kenduri selamatan bagi orang yang meninggal atau apresiasi seni rakyat dapat diterima melalui modifikasi tertentu yang secara esensial dapat diterima dalam tatanorma agama.
Wayang dimodifikasi isi ceritanya sehingga menggambarkan konsep tauhid, tradisi kenduri selamatan dengan tahlil, dan apresiasi seni rakyat dengan Barzanji, Diba’, tarekat atau mocopat dan lain sebagainya.
Dengan demikian hasil proses rekonsiliasi ini dapat memperkayasudut pandang dan wawasan agama agar tidak gersang yang terlepas dari konsteks apresiasi sosio kultural.
Ketika kaum pembaharu Islam awal abad ini melakukan kritik dengan menekankan sentralisasi kemurnian tauhid untuk kembali kepada Qur’an dan hadis, dimana yang muncul ialah penolakan terhadap tradisi keagamaan dan inovasi ibadah lainnya yang hidupdi tengah rakyat itu yang di klaim secara sepihak sebagai bid’ah dankhurafat yang tidak bersumber kepada Qur’an dan hadits.
Kecenderungan skriptualik semacam itu pada gilirannya akanmenimbulkan keterputusan mata rantai sosiokultural dan khazanahkeilmuan zaman awal Islam ketikaQur’an dan hadits diturunkan dengan era modern.
Walhasil, dalam atsar sayyidina ali karamallahu wajhah..
قول على ابن ابى طالب كرمالله وجه ما رأه المسلمون حسنافهو عندالله حسن
Berkata ali bin abi thalib karamallahu wajhah, apa yang jadi pendapat kaum muslimin itu baik, maka sesungguhnya bagi Allah itu baik.
Sehingga, Apa yang telah jadi ijma' jumhur ulama' dan jalan mayoritas kaum muslimin, itu lah jalan yang lurus.
Wabil lahi taufiq wal hidayah.
Wallahu'alam