Abu Thalhah
Beliau lahir di Madinah, tiga puluh enam tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Zaid bin Sahal bin al-Aswad al-Anshory. Istrinya bernama Ummu Salim binti Mulhan, seorang sahabat dari wanita yang terkenal. Dari pernikahannya lahir Abdullah dan Abu ‘Umair.
Pada masa jahiliyah beliau terkenal sebagai pemanah yang handal dan pemberani. Begitu juga ketika dirinya masuk Islam. Beliau masih mahir dalam hal memanah. Apalagi beliau termasuk orang terkaya dari kaum Anshor.
Kononnya, harta yang paling disayangi adalah kebun yang berada di depan Masjid dimana Rasulullah selalu minum airnya. Pada waku turun firman Allah; “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan yang melimpah hingga berani mensedekahkan apa yang paling kalian cintai..(QS.Ali Imran;29). Setelah itu beliau percaya dengan firman Allah tersebut. Akhirnya meminta kepada Rasulullah untuk membaginya kepada siapa saja. Rasulullah menyuruh beliau agar dibagikan kepada keluarga dekatnya. Beliau menjawab; “Wah, itu adalah harta yang menguntungkan.” Kemudian beliau pun membaginya kepada keluarga dekatnya. Pada waktu terjadi perang beliau mengangkat dadanya untuk melindungi Rasulullah dari serangan anak panah.
Pada waktu perang Khaibar, beliau pernah membonceng Rasulullah. Mengenai pribadinya Rasulullah pernah berkata; “Sungguh suara Abu Tholhah dalam tentara jauh lebih baik daripadan seribu orang.” Perang Hunain memberikan pengalaman tersendiri. Ketika itu Rasulullah membuat sayembara. “Barangsiapa mampu membunuh musuh, dia berhak mengambil apa-apa darinya” begitu kata Rasulullah. Mendengar berita itu, Abu Tholhah bergegas mengambil pedang. Akhirnya beliau dapat membunuh dua puluh orang dan memenangi sayembara itu.
Diceritakan Anas bin Malik bahwa anak Tholhah meninggal. Anak itu adalah hasil perkawinannya dengan Ummu Salim. Istrinya berkata kepada keluarganya; “Jangan kalian beritahu Abu Tholhah(tentang kematian anaknya). Biar aku sendiri yang beritahu nanti.” Tak lama kemudian, beliau datang. Ketika datang malam, istrinya mendekat. Beliau pun makan dan minum. Istrinya pun berbuat hal-hal yang menarik baginya yang belum pernah diperbuat sebelumnya. Setelah Abu Tholhah sudah agak kenyang dan sedikit tenang. Istri berkata; “Wahai Abu Tholhah, bagaimana pendapatmu sekiranya suatu kaum meminjam sesuatu dari orang lain, kemudian orang itu meminta kembali apa yang dipinjam. Apakah mereka akan menghalanginnya? Tholhah berkata; “Tidak .” Istri bertanya; “Bagaimana kalau terjadi dengan anakmu?” Mendengar ucapan itu, beliau marah sembari berkata; “Kamu tinggalkan aku hingga dirimu kesusahan. Baru setelah itu kamu beritahu mengenai anakku.” Kemudian beliau bangkit hendak pergi hingga akhirnya Rasulullah datang dan memberitahu apa yang terjadi. Rasulullah berdo’a: “Semoga kalian berdua diberi keberkahan (mendapatkan anak lagi)pada malam ini.”
Pada waktu Rasulullah melakukan haji wada’ (perpisahan) dan selesai dicukur, Rasulullah memberi setengah rambutnya kepadanya. Dan sisinya diberikan kepada para sahabat yang lain. Beliaulah yang mengali kuburan untuk Rasulullah ketika wafat. Setelah wafatnya Rasulullah, beliau melakukan puasa Daun (sehari puasa sehari berbuka). Menurut beberapa riwayat, beliau tidak pernah tidak puasa kecuali sakit dan dalam perjalanan.
Selama hidup berjuang bersama Rasulullah, beliau telah meriwayatkan kurang lebih dua puluh lima hadits. Diantara riwayatnya itu; bahwa Rasulullah berkorban dengan dua kambing besar. Satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Satu kambing untuk orang beriman dan percaya dari umatku.
Pada tahun 34 Hijriah beliau wafat, berumur tujuh puluh tahun. Beliau wafat di laut di suatu peperangan pada masa kekhalifahan Utsmann bin ‘Affan. Waktu itu tidak ditemukan tempat untuk mengkuburkannya. Selama tujuh hari mayatnya belum dikuburkan. Tapi anehnya mayat itu tidak berubah. Akhirnya dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sana. Utsman ikut dalam sholat mayit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar